Selasa, 10 Juni 2025

NAIK KELAS or TINGGAL KELAS pada KURIKULUM MERDEKA ???


Pada postingan ini saya akan mencoba mengajak kita semua untuk sama-sama belajar mehami tentang kriteria kenaikan kelas pada Kurikulum Merdeka. 

Mungkin ada pertanyan yang timbul dari Bapak/Ibu Guru tentang aturan kenaikan kelas, apakah pada kurikulum merdeka semua siswa harus dinaikan atau boleh tidak menaikan siswa? 

Pertanyaan - pertanyaan tentang penentuan syarat kenaikan kelas sudah terjawab lengkap pada buku Panduan Pembelajaran Asesmen (PPA) Kurikulum Merdeka untuk jenjang PAUD, SD, SMP, SMK revisi tahun 2022. 

A. Mekanisme Kenaikan Kelas Kurikulum Merdeka
Satuan pendidikan memiliki keleluasaan untuk menentukan kriteria kenaikan kelas.

Penentuan kenaikan kelas dilakukan dengan mempertimbangkan laporan kemajuan belajar yang mencerminkan pencapaian peserta didik pada semua mata pelajaran dan ekstrakurikuler serta prestasi lain selama 1 (satu) tahun ajaran.

Untuk menilai pencapaian hasil belajar peserta didik sebagai dasar penentuan kenaikan kelas dapat berdasarkan penilaian sumatif. Penilaian pencapaian hasil belajar peserta didik untuk kenaikan kelas dilakukan dengan membandingkan pencapaian hasil belajar peserta didik dengan kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran.

Pembelajaran terdiferensiasi sesuai tahap capaian peserta didik menjadi salah satu praktik yang dianjurkan dalam Kurikulum Merdeka.

Penggunaan fase dalam  Capaian Pembelajaran adalah salah satu alasan mengapa peserta didik dapat terus naik kelas bersama temanteman sebayanya meskipun ia dinilai belum sepenuhnya mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam Capaian Pembelajaran di fase sebelumnya atau tujuan pembelajaran yang ditargetkan untuk dicapai pada kelas tersebut.

Ilustrasi berikut diharapkan dapat menjelaskan  bagaimana proses belajar dalam suatu fase dan lintas fase dapat berjalan seiring dengan kenaikan kelas.

Ilustrasi 1: kenaikan kelas dalam fase yang sama. 
Sebagaimana dijelaskan dalam Bab III, pendidik menyusun alur tujuan pembelajaran dalam satu fase secara kolaboratif. 

Sebagai contoh, guru Kelas III perlu berkolaborasi dengan guru Kelas IV dalam menyepakati alur tujuan pembelajaran yang akan digunakan.

Mereka kemudian menyepakati tujuan-tujuan pembelajaran mana yang perlu dicapai di Kelas III, dan tujuan pembelajaran mana yang akan dipelajari di Kelas IV.

Ketika ada peserta didik yang tidak dapat mencapai tujuan pembelajaran tertentu hingga akhir tahun ajaran di Kelas III, maka guru kelas III perlu menyampaikan hal tersebut kepada guru Kelas IV agar pembelajaran di kelas IV tersebut dapat menyesuaikan dengan kebutuhan peserta didik. 

Selain itu, pada awal tahun ajaran guru pun dianjurkan untuk melakukan asesmen di awal pembelajaran untuk mengidentifikasi kesiapan peserta didik. Dengan demikian, peserta didik tadi dapat terus naik kelas, tidak perlu tinggal kelas di Kelas III.

Ilustrasi 2: kenaikan kelas antara dua fase yang berbeda. 
Contoh lain adalah kenaikan kelas dari Kelas IV (Fase B) ke Kelas V (Fase C).

Apabila terdapat peserta didik yang belum mencapai kompetensi yang ditetapkan dalam Fase B, hal ini perlu diidentifikasi oleh guru Kelas V sejak awal tahun ajaran. 

CP belum tercapai



Informasi tentang tahap capaian peserta didik ini perlu dikomunikasikan oleh guru Kelas IV, dan juga diidentifikasi melalui asesmen di awal pembelajaran Kelas V. 

Untuk peserta didik yang belum menuntaskan Fase B, pendidik dapat mengulang konsep atau materi pelajaran yang belum dikuasai peserta didik sebelum peserta didik tersebut mempelajari materi yang terkandung dalam Capaian Pembelajaran Fase C. 

Dengan demikian, peserta didik dapat terus naik kelas.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa satuan pendidikan tidak perlu menentukan kriteria dan mekanisme kenaikan kelas. Kenaikan kelas dilaksanakan secara otomatis (automatic promotion).

Pembelajaran dilaksanakan menggunakan prinsip mastery learning yang sangat sesuai dengan pembelajaran berdiferensiasi atau pembelajaran sesuai tahap capaian (teaching at the right level).

Setiap peserta didik mempelajari tujuan pembelajaran yang sama dalam setiap pertemuan, namun bagi peserta didik yang tidak dapat mencapai kriteria ketercapaian tujuan pembelajaran perlu ditindaklanjuti dengan memberikan perlakukan khusus agar dapat mencapainya.

Dengan kata lain, tindakan untuk peserta didik yang berisiko tidak seharusnya menunggu hingga tahun ajaran, tetapi perlu segera diberikan.

B. Siswa Tidak Naik Kelas
Apabila terdapat tujuan pembelajaran pada mata pelajaran tertentu yang tidak tercapai sampai saatnya kenaikan kelas, maka pada rapor peserta didik tersebut dituangkan nilai aktual yang dicapai dan dideskripsikan bahwa peserta didik tersebut masih memiliki tujuan pembelajaran yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya

Dalam proses penentuan peserta didik tidak naik kelas, perlu dilakukan musyawarah dan pertimbangan yang matang sehingga opsi tidak naik kelas menjadi pilihan paling akhir apabila seluruh pertimbangan dan perlakuan telah dilaksanakan.

Banyak penelitian menunjukkan bahwa tinggal kelas tidak memberikan manfaat signifikan untuk peserta didik, bahkan cenderung memberikan dampak buruk terhadap persepsi diri peserta didik (Jacobs & Mantiri, 2022; OECD, 2020; Powell, 2010).

Di berbagai negara, kebijakan tinggal kelas secara empiris tidak meningkatkan prestasi akademik peserta didik, terutama yang mengalami kesulitan belajar.

Dalam survei PISA 2018, skor capaian kognitif peserta didik yang pernah tinggal kelas secara statistik lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak pernah tinggal kelas (OECD, 2021).

Hal ini menunjukkan bahwa mengulang pelajaran yang sama selama satu tahun tidak membuat peserta didik memiliki kemampuan akademik yang setara dengan teman-temannya, melainkan tetap lebih rendah. Hal ini dimungkinkan karena yang dibutuhkan oleh peserta didik tersebut adalah pendekatan atau strategi belajar yang berbeda, bantuan belajar yang lebih intensif, waktu yang sedikit lebih panjang, namun bukan mengulang seluruh pelajaran selama setahun.

Dalam hal terjadi kasus luar biasa, jika terdapat banyak mata pelajaran yang tidak tercapai oleh peserta didik dan/atau terkait isu sikap dan karakter peserta didik, maka satuan pendidikan dapat menetapkan mekanisme untuk menetapkan peserta didik tidak naik kelas. 

Namun demikian, keputusan ini sebaiknya dipertimbangkan dengan sangat hati-hati mengingat dampaknya terhadap kondisi psikologis peserta didik.
Selain itu, tinggal kelas juga memberatkan secara ekonomi. Hasil tes PISA 2018 menunjukkan bahwa di berbagai negara, mayoritas siswa yang pernah tidak naik kelas adalah siswa dari keluarga kelas menengah ke bawah (OECD, 2020). 

Ketika mereka tinggal kelas, biaya untuk mengulang satu tahun belajar memberatkan keluarga sehingga mereka semakin rentan putus sekolah.
Dengan demikian, kebijakan tidak naik kelas adalah kebijakan yang tidak efisien. Peserta didik harus mengulang semua mata pelajaran untuk jangka waktu satu tahun penuh, padahal mungkin bukan itu yang menjadi kebutuhan belajar mereka. 

C. Alternatif Solusi Siswa Tidak Naik Kelas
Berikut ini adalah contohcontoh isu yang biasanya menjadi faktor pendorong keputusan tidak naik kelas, serta alternatif solusi yang lebih sesuai dengan perkembangan dan kesejahteraan (well-being) peserta didik.
Contoh isu:
Peserta didik mempunyai tujuan pembelajaran yang belum tuntas (ada tujuan-tujuan pembelajaran yang hasilnya belum memenuhi pencapaian minimum).
Pertimbangan yang bisa diambil sekolah
Dapat dipertimbangkan naik di kelas berikutnya dengan pendampingan tambahan untuk menyelesaikan tujuan pembelajaran yang belum tercapai/tuntas.

Contoh isu:
Peserta Didik mempunyai masalah absen/ketidakhadiran yang banyak (Banyaknya jumlah ketidakhadiran disepakati oleh Satuan Pendidikan)
Pertimbangan yang bisa diambil sekolah
Dapat dipertimbangkan dengan mengetahui alasan ketidakhadiran. Jika peserta didik tidak hadir karena kondisi keluarga (siswa yang membantu orang tua bekerja karena alasan ekonomi) atau masalah kesehatan peserta didik, maka dapat dipertimbangkan naik dengan catatan khusus.

Jika alasan ketidakhadiran karena “malas”, meskipun kecil kemungkinan untuk naik kelas; peserta didik tetap dapat dipertimbangkan naik dengan catatan di rapor bagian sikap yang perlu ditindaklanjuti di kelas berikutnya. Misalnya permasalahan ketidakhadiran harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun dengan cara konseling atau behavior treatment lain.

Khusus permasalahan ketidakhadiran, wali kelas harus dapat mendeteksi permasalahan ini sedini mungkin, sehingga tidak terjadi penumpukan jumlah ketidakhadiran dari peserta didik di akhir semester.

Contoh isu:
Keterlambatan psikologis, perkembangan, dan/atau kognitif
Pertimbangan yang bisa diambil sekolah
Bisa dipertimbangkan untuk naik kelas dengan catatan peserta didik perlu mendapat bimbingan dalam memahami pelajaran dan/ atau mendapatkan layanan konseling

D. Penutup

Dari apa yang saya pahami dari uraian yang ada diatas bahwa pada Kurikulum Merdeka diharapkan tidak ada siswa yang tidak naik kelas, semua naik kelas walaupun dengan alasan yang cukup berputar-putar. 
Tapi intinya itu, pada kurikulum merdeka tidak boleh ada siswa tinggal kelas. 
Untuk menambah referensi bisa menonton video yang saya sematkan di bawah ini:





Jumat, 23 Mei 2025

Makna di Balik Remedial Pembelajaran

 


Pengertian Remedial Dalam Pembelajaran

Remedial dalam pembelajaran merujuk pada serangkaian kegiatan atau program yang dirancang untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam menguasai materi pelajaran. Program ini bertujuan untuk mengatasi kesenjangan belajar dan memastikan bahwa semua siswa mencapai tingkat pemahaman yang diharapkan. Remedial tidak hanya difokuskan pada penguasaan materi yang tertinggal, tetapi juga pada pengembangan keterampilan belajar yang efektif.

Tujuan Remedial Dalam Pembelajaran

Tujuan remedial dalam pembelajaran mencakup beberapa aspek penting, antara lain:

1. Meningkatkan Pemahaman Materi

Remedial bertujuan untuk meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang dianggap sulit. Dengan memberikan penjelasan tambahan dan pendekatan yang berbeda, siswa diharapkan dapat menguasai konsep-konsep yang sebelumnya sulit dipahami.

2. Mengatasi Kesenjangan Belajar

Salah satu tujuan utama remedial adalah mengatasi kesenjangan belajar di antara siswa. Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti kecepatan belajar yang berbeda, ketidakhadiran, atau kurangnya perhatian selama pembelajaran berlangsung.

3. Meningkatkan Motivasi Belajar

Dengan memberikan bantuan tambahan, remedial dapat meningkatkan motivasi belajar siswa. Ketika siswa merasa diperhatikan dan mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan, mereka akan lebih termotivasi untuk belajar dan mencapai hasil yang lebih baik.

4. Mengembangkan Keterampilan Belajar

Remedial tidak hanya berfokus pada pemahaman materi, tetapi juga pada pengembangan keterampilan belajar. Siswa diajarkan strategi belajar yang efektif, teknik menghafal, dan cara mengatur waktu belajar agar lebih produktif.

5. Mencapai Standar Belajar

Tujuan akhir dari remedial adalah memastikan bahwa semua siswa mencapai standar belajar yang telah ditetapkan. Dengan mengatasi kesulitan belajar secara tepat, siswa dapat mencapai tingkat pemahaman yang setara dengan rekan-rekan mereka.

Implementasi Remedial Dalam Pembelajaran

Implementasi remedial dalam pembelajaran memerlukan perencanaan yang matang dan pendekatan yang tepat. Beberapa langkah penting dalam implementasi remedial antara lain:

1. Identifikasi Siswa Yang Membutuhkan Remedial

Langkah pertama dalam implementasi remedial adalah mengidentifikasi siswa yang membutuhkan bantuan tambahan. Guru dapat menggunakan berbagai metode seperti tes diagnostik, observasi, dan analisis hasil belajar untuk mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan.

2. Merancang Program Remedial

Setelah mengidentifikasi siswa yang membutuhkan, langkah selanjutnya adalah merancang program remedial yang sesuai. Program ini harus disesuaikan dengan kebutuhan individu siswa dan mencakup metode pengajaran yang efektif.

3. Pelaksanaan Program Remedial

Pelaksanaan program remedial dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti kelas tambahan, sesi bimbingan individu, atau kelompok kecil. Guru harus memastikan bahwa metode yang digunakan sesuai dengan gaya belajar siswa dan memberikan penjelasan yang lebih mendalam tentang materi yang sulit dipahami.

4. Evaluasi Dan Tindak Lanjut

Setelah program remedial dilaksanakan, penting untuk melakukan evaluasi terhadap kemajuan siswa. Guru dapat menggunakan tes ulang, tugas, dan observasi untuk mengevaluasi sejauh mana siswa telah menguasai materi. Jika diperlukan, program remedial dapat diperpanjang atau disesuaikan untuk memastikan siswa benar-benar mencapai pemahaman yang diharapkan.

Kamis, 13 Februari 2025

Lautan Diplomasi

 Lautan Diplomasi

 

Benazir Bhutto

(The President of Pakistan)

(The torchbearer of courage and democracy)

"Saat yang paling indah dari sebuah kapal adalah ketika ditambatkan di dermaga, dia cantik sekali bermandikan cahaya tapi jangan pernah lupa sesungguhnya kapal tidak pernah dibuat untuk ditambatkan di dermaga, kapal dibuat untuk menghajar gelombang membelah lautan. Teman-teman generasi sekalian yang terlihat ganteng nan ayu yang sudah mendapatkan/menduduki jabatan luar biasa di negeri ini bukan karena sebab terpilihnya kegagahan itu, namun kegagahan Anda adalah ketika Anda memberikan sumbangsih untuk menjawab gelombang persoalan dan masalah lautan di republik ini."

Kapal dan Samudera
Saat yang paling indah dari kapal, Adalah ketika ia ditambatkan di dermaga, Bermandikan cahaya, memantulkan ketenangan, Terlihat cantik, megah, dan damai dalam diam. Namun, jangan pernah lupa, Kapal tak diciptakan untuk diam di tempat, Ia dibuat untuk menghajar gelombang, Membelah samudera yang luas dan tak terduga. Angin yang kencang, badai yang datang, Adalah tantangan yang ia rangkul penuh semangat, Kebebasan menantinya di tengah lautan, Di sanalah ia menemukan arti keberadaannya.

Kapal bukan untuk terikat pada dermaga, Tapi untuk berlayar, menemukan cakrawala baru, Menghadapi setiap gelombang dengan berani, Karena itulah makna sejati dari petualangan hidupnya.

Rabu, 04 Desember 2024

Teori Equilibrasi Kognitif Jean Piaget

 

Teori Equilibrasi Kognitif Jean Piaget

Jean Piaget (1896-1980) adalah ahli psikologi asal Swiss yang mendalami bagaimana kondisi dan perkembangan kognitif pada manusia. Kita ketahui bahwa berpikir merupakan suatu keistimewaan yang dimiliki manusia. Oleh karena itu sebagian besar ahli psikologi meyakini bahwa inti dari proses belajar manusia terletak pada kognisinya.

Setiap informasi yang diterima oleh indera manusia akan tersimpan di dalam pikirannya. Kumpulan informasi tersebut akan membentuk pola-pola berpikir yang khas pada setiap orang. Organisasi informasi di dalam pikiran oleh Piaget disebut dengan istilah "skema." Skema setiap manusia adalah unik, dibentuk oleh berbagai pengalaman dan sejarah hidupnya. Karena itu ide-ide ataupun pemahaman seseorang sangat mungkin berbeda dengan orang lain, walaupun menyangkut satu hal yang sama.

Salah satu teori kognitif Piaget adalah teori equilibrasi kognitif. Piaget meyakini bahwa semua manusia memiliki dorongan untuk menyesuaikan (memahami) pikiran dengan pengalaman yang dihadapinya. Ketika skema yang dimiliki seseorang berbeda dengan fenomena yang baru ditemui, maka akan muncul suatu dorongan dalam dirinya untuk menyesuaikan atau bahkan merombak skema agar dapat sesuai (memahami) fenomena tersebut.

Keseimbangan antara skema dengan kondisi sekitar seseorang disebut dengan equilibrium (seimbang). Ketika seseorang menemui sesuatu yang baru maka akan terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium) kognitif. Saat itu akan muncul dorongan alami untuk menyesuaikan skema lama dengan pengalaman baru, proses ini disebut dengan equilibrasi (proses menuju keseimbangan).

Berdasarkan teori tersebut maka sangat baik untuk mendorong terjadinya disequilibrium pada diri siswa agar muncul motivasi belajar. Sebagai contoh, guru IPA di awal pembelajaran mendemonstrasikan suatu kejadian aneh yang berkaitan dengan teori IPA yang akan diajarkan. Atau memberi mereka aktivitas penelitian sederhana yang aneh, menarik atau menegangkan.

Aktivitas yang Memunculkan Equilibrasi Kognitif
(Sumber: Snowman, McCown & Biehler, 2012)

Ketidakseimbangan kognitif dikenal juga dengan istilah konflik kognitif, telah banyak diteliti dan menghasilkan dampak positif pada belajar siswa. Pada link berikut adalah salah satu contoh bagaimana implementasi konflik kognitif memiliki dampak positif pada aspek-aspek belajar siswa.

Proses equilibrasi menyebabkan kemampuan kognitif anak terus mengalami perkembangan. Dalam penelitiannya Jean Piaget menemukan bahwa perkembangan kognitif anak hingga dewasa berlangsung dalam empat tahap perkembangan kognitif yaitu sensorimotor, praoperasional, operasional kongkrit dan operasional formal.

Buku Rujukan:
Snowman, Jack. McCown, Rick. Biehler, Robert. 2012. Psychology Applied to Teaching. Edisi Tiga Belas. Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Senin, 03 Juli 2023

Lima Posisi Kontrol Guru

POSISI KONTROL GURU


Suatu program disiplin positif yang berpusat pada murid, yang dikembangkan oleh Diane Gossen dengan pendekatan Restitusi, yang disebut dengan 5 Posisi Kontrol.

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas mereka selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat, memerdekakan, dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan berdasarkan pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah Penghukum, Pembuat Rasa Bersalah, Teman, Pemantau dan Manajer. 

Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

“Patuhi aturan saya, atau awas!”

“Kamu selalu saja salah!”

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.


Penghukum (Nada suara tinggi, bahasa tubuh: mata melotot, dan jari menunjuk-nunjuk menghardik):

“Terlambat lagi, pasti terlambat lagi, selalu datang terlambat, kapan bisa datang tepat waktu?”

Tanyakan kepada diri Anda:

Bagaimana perasaan murid bila guru berbicara seperti itu pada saat muridnya datang terlambat? 

Hasil:

Kemungkinan murid marah dan mendendam atau bersifat agresif. Bisa jadi sesudah kembali duduk, murid tersebut akan mencoret-coret bukunya atau meja tulisnya. Lebih buruk lagi, sepulang sekolah, murid melihat motor atau mobil bapak/ibu guru dan akan menggores kendaraan tersebut dengan paku.


2. Pembuat Merasa Bersalah

Pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat rasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.


Pembuat Merasa Bersalah (Nada suara memelas/halus/sedih, bahasa tubuh: merapat pada anak, lesu):

“Adi, kamu ini bagaimana ya? Kamu sudah berjanji dengan ibu tidak akan terlambat lagi. Kamu kenapa ya senang sekali mengecewakan Ibu. Ibu benar-benar kecewa sekali.”

Bagaimana perasaan murid bila ditegur seperti cara ini?

Hasil:

Murid akan merasa bersalah. Bersalah telah mengecewakan ibu atau bapak gurunya. Murid akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak sanggup membahagiakan orang lain. Kadangkala sikap seperti ini lebih berbahaya dari sikap penghukum, karena emosi akan tertanam rapat di dalam, murid menahan perasaan. Tidak seperti murid dalam dengan guru penghukum, di mana murid bisa menumpahkan amarahnya walaupun dengan cara negatif. Murid tertekan seperti inilah yang tiba-tiba bisa meletus amarahnya, dan bisa menyakiti diri sendiri atau orang lain.

Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

“Ayo bantulah, demi bapak ya?”

“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha. Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.


Teman (nada suara: ramah, akrab, dan bercanda, bahasa tubuh: merapat pada murid, mata dan senyum jenaka)

“Adi, ayolah, bagaimana sih kamu. Kemarin kamu sudah janji ke bapak bukan, kenapa terlambat lagi? (sambil tertawa ringan). Ya, sudah tidak apa-apa, duduk dulu sana. Nanti Pak Guru bantu. Kamu ini.” (sambil senyum-senyum).

Bagaimana perasaan murid dengan sikap guru seperti ini?

Hasil:

Murid akan merasa senang dan akrab dengan guru. Ini termasuk dampak yang positif, hanya saja di sisi negatif murid menjadi tergantung pada guru tersebut. Bila ada masalah, dia merasa bisa mengandalkan guru tersebut untuk membantunya. Akibat lain dari posisi teman, Adi hanya akan berbuat sesuatu bila yang menyuruh adalah guru tersebut, dan belum tentu berlaku yang sama dengan guru atau orang lain.

Memantau berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi pemantau sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.


Pemantau (nada suara datar, bahasa tubuh yang formal):

Guru: “Adi, tahukah kamu jam berapa kita memulai?”

Adi:    “Tahu Pak!”

Guru: “Kamu terlambat 15 menit, apakah kamu sudah mengerti konsekuensi yang harus dilakukan bila terlambat?”

Adi:    “Paham Pak, saya harus tinggal kelas pada jam istirahat nanti dan mengerjakan tugas ketertinggalan saya.”

Guru: “Ya, benar, nanti pada saat jam istirahat kamu harus tinggal di kelas untuk menyelesaikan tugas yang tertinggal tadi. Saya tunggu”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Hasil:

Murid memahami konsekuensi yang harus dijalankan karena telah melanggar salah satu peraturan sekolah. Guru tidak menunjukkan suatu emosi yang berlebihan, menjadi marah atau membuat merasa berbuat salah.  Murid tetap dibuat tidak nyaman yaitu dengan harus tinggal kelas pada waktu jam istirahat dan mengerjakan tugas. Guru tetap harus memantau murid pada saat mengerjakan tugas di jam istirahat karena murid tidak bisa ditinggal seorang diri.

Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri.  Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata
“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu meyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?”
“Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

Bisa jadi dalam praktik penerapan disiplin sehari-hari, kita akan kembali ke posisi Teman atau Pemantau, karena murid yang ditangani belum siap diajak berdiskusi atau diundang melakukan restitusi. Namun perlu disadari tujuan akhir dari 5 posisi kontrol seorang guru adalah pencapaian posisi Manajer, di mana di posisi inilah murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang pada akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.


Manajer (nada suara tulus, bahasa tubuh tidak kaku, mendekat ke murid):

Guru: “Adi, apakah kamu mengetahui jam berapa sekolah dimulai?”

Adi:    “Tahu Pak, jam 7:00!”

Guru: “Ya, jadi kamu terlambat, kira-kira bagaimana kamu akan memperbaiki masalah ini?”

Adi:  “Saya bisa menanyakan teman saya Pak, untuk mengejar tugas yang tertinggal.”

Guru:  “Baik, itu bisa dilakukan. Apakah besok akan ada masalah untuk kamu agar bisa hadir tepat waktu ke sekolah?”

Adi:     “Tidak Pak, saya bisa hadir tepat waktu.”

Guru:  “Baik. Saya hargai usahamu untuk memperbaiki diri”

Bagaimana perasaan murid diperlakukan seperti ini?

Pada posisi Manajer maka suara guru sebaiknya tulus. Tidak perlu marah, tidak perlu meninggikan suara, apalagi menunjuk-nunjuk jari ke murid, berkacak pinggang, atau bersikap seolah-olah menyesal, tampak sedih sekali akan perbuatan murid ataupun bersenda gurau menempatkan diri sebagai teman murid.

Fokus ada pada murid, bukan untuk membahagiakan guru atau orang tua. Murid sudah mengetahui adanya suatu masalah, dan sesuatu perlu terjadi. Bila guru mengambil posisi Pemantau, guru akan melihat apa konsekuensinya apa peraturannya? Namun pada posisi Manajer, guru akan mengembalikan tanggung jawab pada murid untuk mencari jalan keluar permasalahannya, tentu dengan bimbingan guru.

Senin, 12 Juni 2023

Guru yang Dirindukan Peserta Didik

Ki Hajar Dewantara, "Jadikan setiap tempat sebagai sekolah, jadikan setiap orang sebagai guru". 

Berkaca pada ungkapan bapak pendidikan nasional, ternyata menjadi sosok yang dapat digugu dan ditiru merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru, karena bukan lagi perihal beban moral atau beban profesi, tapi tanggungjawab sampai akhirat. 

 Profesi guru bukan sekedar profesi yang berakhir di akhir jam kerjaGuru yang bijaksana memiliki status guru kapan saja, di mana saja, bahkan setelah pensiun. Guru yang cerdas pasti ingin dikenang sebagai guru yang baik dan siswa yang merindukannya. Oleh karena itu, guru yang bijaksana harus memiliki kualitas mengajar dan sikap mengajar yang membuat siswa selalu mengingatnya.

Memenuhi peran seorang guru sebagai pendidik dan pengajar, hal pertama yang harus dilakukan seorang guru adalah menjadi panutan bagi siswa, karena apa yang dilakukan seorang guru adalah tiruan bagi siswa.

Di zaman yang penuh dengan ketidak pastian dengan perubahan yang sangat cepat, tidak terduga, dan kebenaran serta realitas menjadi sangat subyektif, membuat pendidik tidak hanya harus cerdas dalam menguasai materi, namun juga harus memiliki karakter yang baik dan harus cepat beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi, seperti halnya yang diungkapkan oleh Albert Einstein, "The measure of intelligence is the ability to change".